Featured

tidak ada poetry

sebuah lorong di bawah rel kereta api yang bukan tempat tinggalku, sampah yang menghitam dari api dan sikap acuh pejalan kaki, semprotan DDT yang sebentar aku kira asap sate, tidak ada poetry. aku berjalan tegap lurus ke depan, sol sepatuku kulit, hand-made, mengetuk aspal seperti bosan, tidak ada poetry. aku berjalan menggandeng anakku perempuan, menghindari tong sampah hijau, oranye, biru, organik, panik, ada atau tidak ada bajaj di depan, di belakang, tidak ada poetry. istriku takut sedih, takut lupa, takut daftar belanja luxola, rambutnya warna-warni seperti rumah gaudi, tidak ada poetry. aku berjalan menggandeng istriku, di sebuah lorong di bawah mall yang bukan poetryku, menghindari sampah warna-warni yang bosan, menghitam, tidak ada poetry.

A Copy of His Mind: Realisme Komersil Joko Anwar

Apakah penonton sedang going gaga atau mereka mengundang Lady Gaga?

Di awal tahun 2000-an, salah satu kata yang paling sering dipakai anak gaul Jakarta untuk mendefinisikan diri sendiri adalah “eklektik”. Segalanya serba eklektik: set DJ, gaya bermusik, gaya berpakaian, ideologi. “Politik identitas” belum masuk kamus, jadi kalau bingung mau present as what, bilang aja, “eklektik.” 

Anak gaul Jakarta tak pernah setia dengan patois mereka sendiri, tapi sejak era itu Joko Anwar masih bertahan menjadi salah satu sutradara komersil Indonesia yang eklektik dalam soal gaya, sering bereksperimen dengan bentuk, genre, bahkan disiplin karyanya: setelah mengawali karirnya di industri film mainstream Indonesia dengan menulis skenario film satir-lite Arisan, Joko kemudian menyutradarai film Woody Allen-lite Janji Joni, film pseudo-noir Kala, film gothic-psycho-thriller Pintu Terlarang, kemudian drama keluarga-gore Modus Anomali. Ia juga sempat menulis skenario untuk film komedi Quickie Express, film drama fiksi., dan adaptasi bebas kitab esek-esek Moammar Emka, Jakarta Undercover, yang ia gubah menjadi film kejar-kejaran dengan judul sama yang mungkin bisa diberi judul alternatif Run Luna Maya Run. Keeklektikan Joko juga melebar ke luar film: bikin musikal off-off-off Broadway (aka Teater Kecil TIM) Onrop!, serial TV horor fantasi Halfworlds, dan jadi vokalis superband Mantra yang dimotori Stephen Malkmus, eh, Zeke Khaseli.

Keeklektikan, karena ia konsisten menjaganya, mungkin memang sudah jadi identitas Joko. Sebagai sineas yang dibesarkan oleh Orba kemudian diberi kesempatan oleh sejarah untuk menikmati gegar kebebasan reformasi ’98, ia sepertinya cukup bahagia cap-cip-cup kembang kuncup memilih berbagai macam bentuk karya untuk mengekspresikan ka-auteur-annya. Selain itu, keeklektikan ini mungkin didasari hasratnya untuk menemukan formula film komersil yang paling bisa membuat penonton Indonesia “going gaga”

Joko Anwar vs. @jokoanwar

Dalam hal tema, ada beberapa benang merah yang meyambungkan karya-karya Joko selama ini, salah satunya adalah kritik sosial yang dilancarkan dengan membuat mise-èn-scene yang menggambarkan Indonesia sebagai tempat antah-berantah kelam-mencekam (noir?) di mana satu-satunya hukum yang berlaku adalah hukum rimba, yang wong ciliknya berharap sia-sia akan datangnya seorang Ratu Adil—dan begitu datang ternyata ia seorang Rice Queen (satu lagi benang merah film-film Joko adalah gay subtext yang menjadi kritiknya terhadap moralitas yang kelewat heteronormatif di Indonesia seperti bisa dilihat di Kala; atau dengan menunjukkan skeptisisme terhadap kebahagiaan ala keluarga sakinah mawaddah wassalam khas Indonesia (Pintu Terlarang); atau sekalian mempreskripsikan final solution buat keluarga kelas menengah ngehek macam itu (Modus Anomali).

Selain dalam film dan opera musikal, kritik sosial Joko menemukan outletnya yang paling maksimal di media sosial. Sebagai @jokoanwar, selebtwit dengan pengikut 911 ribu (per 23 Februari 2016), ia gemar melancarkan kritik-litenya dengan lebih literal. Indoprogress mungkin akan mendefinisikan aliran politik @jokoanwar sebagai “liberal tua”, sehingga tidak mengherankan jika pada pilpres 2014 kemarin ia sempat mejadi relawan konser Salam Dua Jari Jokowi. 

Setelah Modus Anomali, yang menunjukkan kemarahan luar biasa terhadap konsep nuclear family dan masyarakat yang mempromosikan konsep tersebut—hingga settingnya pun digubah bukan hanya menjadi tempat berhukum rimba tapi rimba beneran yang memangsa nuclear family tadi!—ada satu pertanyaan penting yang timbul buat Joko: ideologi pursuit of happiness macam apa yang ia tawarkan, yang ia percayai? Kritiknya terhadap konsep kebahagiaan orang lain sudah mencapai titik jenuh—apakah kemudian raison d’être-nya sebagai seorang sutradara? Atau ia lebih nyaman mengkritisi dan menyinyiri semuanya saja? Itu pilihan berkreasi yang sah-sah saja tentu, tapi jika Lenin (dan Godard) benar, bahwa “ethics are the esthetics of the future”, ethics macam apa yang didambakan Joko Anwar si auteur (bukan @jokoanawar si selebtwit) untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI harga nego ini?

Deus ex Maxima

Mungkin Joko sendiri sadar dengan dilema di atas, sehingga A Copy of My Mind menjadi karya pertamanya yang bukan cuma mengolok-ngolok dan mengkritisi moralitas masyarakat Indonesia—terutama materialisme Jakarta yang melumpuhkan—namun juga menawarkan resep untuk mencuri-curi kebahagiaan di antara himpitan poleksosbudhankam kota jahanam ini.

Alek si “pekerja teks DVD bajakan komersil” (apologies to Adrian Jonathan Pasaribu yang pernah memakai “pekerja teks komersil” sebagai profil Twitternya) dan Sari si mbak-mbak facial adalah potret template kaum lumpenproletariat yang tidak akan pernah berhasil naik kelas sekeras apapun mereka kerja, kerja, kerja. Seorang tante gi/garang (GAGArang?) makelar koruptor pelanggan facial Sari yang tinggal di sebuah penjara harga bintang lima rasa bintang lima pun memvonisnya: “Hidupmu itu sama kayak polisi-polisi itu, susaaah!” Sementara itu, Alek yang memilih tidak ber-KTP, tidak ber-SIM, tidak ber-HP—mungkin sebuah usaha agar dirinya tidak menjadi sekedar angka statistik—akhirnya malah dihapus sama sekali dari sejarah Jakarta oleh tangan-tangan hitam dunia politik dagang apel (2024 update: politik gentong babi) yang panik tertangkap basah.

Namun sebelum nasib akhirnya mengubur harapan-harapan Sari dan Alek, mereka masih sempat menikmati saat-saat nikmat keringetan di kos, menyatu dalam adegan-adegan seks yang saru sekaligus seru, atau sekedar keringetan bangun kesiangan masih pelukan. Bahagia itu sederhana, kata hashtag, dan di momen-momen seperti ini, kita hampir mempercayainya sebagai kebenaran.

Kisah Sari dan Alek dituturkan dalam narasi yang tidak biasa bagi Joko: hampir tidak ada yang terjadi selama hampir tiga perempat film, selain cinta di antara mereka berdua yang tumbuh secepat keping-keping DVD memenuhi dinding kamar kos Alek (proyek Alek yang terhenti karena malas dan baru dilanjutkan setelah Sari berjanji membantunya). Sementara film-film Joko sebelum ini selalu dipenuhi aksi sejak babak pertama. Seakan-akan Joko sadar bahwa tema filmnya kali ini lain dibandingkan film-filmnya sebelumnya, lebih personal, sehingga memerlukan treatment yang berbeda pula, yang lebih menunjukkan visi personalnya sebagai auteur dan bukan cuma berusaha untuk membuat penonton “going gaga”. Atau mungkin juga keinginan menawarkan resep untuk kebahagiaan ala Joko Anwar, bukan cuma menawarkan sebuah list errata atas konsep kebahagiaan orang lain seperti kebiasaannya sebelum film ini—sebuah langkah di luar kebiasaan—secara natural diikuti dengan rasa penasaran untuk mencoba cara bertutur yang lain. Membiarkan tidak ada yang terjadi dalam filmnya mungkin biasa buat Béla Tarr, tapi luar biasa buat Joko Anwar.

Sayangnya, sepertinya tidak mudah bagi Joko untuk keluar dari kebiasannya menggunakan bahasa film komersil yang selama ini digunakannya. Mungkin selain ingin penonton merenung setelah nonton A Copy of My Mind, ia juga masih ingin mereka “going gaga”. Tidak cukup tangan-tangan hitam dunia politik merecoki pedekate Sari dan Alek, tangan tuhan pun ikutan. Dalam sebuah insiden deus ex machina yang pasti akan ditolak auteur Dogma (begitu kebetulannya insiden ini, sungguh tergoda untuk menyebutnya sebagai deus ex Maxima Pictures), kisah cinta Sari dan Alek karya Joko Anwar tiba-tiba banting setir menjadi kritik politik ala @jokoanwar. Adegan-adegan yang unik dan membumi (bercinta sambil nonton bokep gay, ngobrol ngalor-ngidul tentang cita-cita (Sari punya, Alek tak punya), ngobrol tentang jenis-jenis DVD bajakan sebagai metafora kehidupan) digantikan oleh metafora-metafora visual klise tentang negara yang tidak mau menegakkan hukum saat hukum itu rubuh diperkosa kuasa (Sari berjalan dekat polisi di tengah-tengah kampanye pilpres setelah Alek dihilangkan, Sari membayangkan udara Glodok yang panas menjelma menjadi dada bidang Alek yang hangat, Sari kembali kerja, kerja, kerja di salon lamanya yang hanya menjanjikan makrodemabrasi bagi nasibnya yang terlanjur carut-marut). 

Sindiran-sindiran sosial di film ini jadi gengges karena terasa tidak pada tempatnya. Misalnya, adzan subuh yang dijukstaposisikan dengan adegan coli—sindiran tentang kemunafikan kaum hiper relijius yang mengundang reaksi yaelaaah, yaiyalah dapat salam dari Islamophobia. Sayang, karena sebenarnya adzan subuh dalam film ini sudah punya peran yang lebih menarik dan tidak klise: menjadi alarm bangun pagi buat Sari—bukan pengingat lebih baik solat daripada tidur tapi lebih baik bangun subuh daripada tidak kebagian antrian mandi di kosan. Suara adzan dari loudspeaker yang sering dikomplain mengganggu digambarkan menjadi sesuatu yang telah menjadi banal, fungsional, dan hanya berperan meningkatkan produktivitas kerja, kerja, kerja. Ini justru sindiran yang lebih radikal sebenarnya, adzan subuh sebagai Apple Watch purbakala!

Bahasa yang menempel atau politik tempelan

Bahasa film yang komersil sepertinya juga membuat Joko tidak bisa tidak menambahkan adegan-adegan yang tidak perlu hanya karena narasinya memang harus sesuai standar piramida Freytag: exposition-climax-dénouement. Contoh yang paling baik untuk ini adalah scene Sari striptease di kamar Alek yang dilistrikkan jadi sebuah disko, yang menjadi klimaks selesainya proyek mereka menghiasi dinding dengan keping-keping DVD sekaligus klimaks mekarnya cinta di antara mereka berdua. Scene ini jadi terasa mengada-ada karena kayaknya harus ada aja, karena diwajibkan oleh plot dan bahasa film yang setia mengikuti pola piramida Freytag tadi. Tidak ada keterangan lebih dalam tentang karakter Sari sebelumnya yang bisa mengindikasikan bahwa di balik mesam-mesem alaynya ia sebenarnya adalah seekor kupu-kupu siang malam yang sudah tidak sabar menunggu lepas dari persahabatan bagai kepompong dan ingin segera asyik-keluar-masyuk dalam percintaan sampai dengkul kopong. Justru Sari terlihat lebih tertarik dengan koleksi DVD Alek daripada koleksi otot di bicepnya. Waktu bercinta dengan Alek pun ia selalu lupa mencopot behanya! 

Nasib yang sama terjadi pada kritik politik yang dilancarkan film ini sejak insiden deus ex Maxima tadi. Selain tempatnya mungkin lebih tepat dalam sebuah kultwit @jokoanwar berhashtag #politikitumunafik #bahagiatidaksederhana #keringetandikos #negaragagal, kritik ini juga harus dipanjang-panjangkan untuk mencapai dénouement-nya sendiri. Alek harus dihilangkan dan si pembunuh berkeringat dingin yang dibayar menghilangkannya harus dengan klise dan dalam ironi yang dipaksakan ngobrol-ngobrol sok sersan tentang masalah sejuta umat, “honor kecil nggak bisa nabung belum bisa beli rumah”, sementara Alek terkapar tak berdaya mungkin juga tak bernyawa di dekat kakinya. Sepertinya, poin bahwa Jakarta kejam tiada tara terhadap kroco-kroco lumpenproletariatnya sudah ditegaskan berkali-kali, tidak perlu lagi diulang dalam adegan-adegan sadistis-sok ironis ala Joko Anwar. Atau mungkin itu poinnya, adegan-adegan seperti itu harus ada karena ini masih film Joko Anwar, yang harus mengandung adegan-adegan sadistis-ironis pun belum ala Joko Anwar. Tapi itulah justru yang membuat kritik politik dalam film ini jadi terkesan lebay—karena yang diomongkan sebenarnya tidak lebih dalam daripada politik itu munafik dan menyiksa wong cilik, tapi juga dinyatakan berulang-ulang, dan bahkan di akhir film seperti telah menyisihkan sama sekali kisah romantis-tragis tentang koneksi personal antara Alek dan Sari yang sebenarnya mengharukan. Karena porsinya yang terlalu besar sementara kemunculannya begitu mengejutkan, kritik politik dalam film ini terkesan seperti sekedar tempelan, mungkin untuk menambah bobot kisah romansa yang takutnya dianggap terlalu 4LAy. Kenapa harus drama? Kenapa tidak?

Kegedean tema, gaga(p) bahasa

Dalam sebuah percakapan di awal pedekate Alek dan Sari, Alek mewanti-wanti Sari si maniak DVD agar jangan membeli DVD bajakan yang berlabel “Combo Format”, karena DVD yang berlabel itu pasti hasil kopian dari kopian dari kopian yang kesekian, sehingga gambarnya pasti jelek. Adegan ini bisa menjadi metafora bagi keengganan Sari dan Alek menjadi sekedar manusia-manusia combo format, sekedar copy dari ratusan juta manusia Indonesia lain yang hidupnya cepat atau lambat akan jadi makin kabur sebelum akhirnya hilang tanpa meninggalkan bekas, atau bisa juga menjadi metafora kebelumberhasilan Joko (sampai di titik ini) untuk meninggalkan bahasa film komersilnya yang lama dan menciptakan bahasa baru yang lebih personal, lebih auteur.

Jika “my” dalam A Copy of My Mind diinterpretasikan sebagai “Joko’s”, maka ternyata kepalanya masih mengandung banyak residu-residu bahasa film komersil, yang selalu berusaha, kadang terlalu keras, membuat penonton “going gaga”. Padahal ternyata bahasa seperti itu kurang cocok untuk menarasikan kisah romantis-tragis tentang mencuri-curi kebahagiaan sesaat di antara siksaan kesepian, keringetan, dan kemiskinan. Kisah tentang mereka yang dilumpuhkan, yang sudah penuh drama, ternyata tidak sesuai didongengkan dengan bahasa yang strukturnya dirancang untuk merekayasa melodrama. Film ini tidak sepenuhnya gagal menceritakan kisah manusia-manusia gagal, tapi ada jurang menganga di antara temanya yang personal dan bahasanya yang komersil—yang sering memaksakan yang personal menjadi politikal, dan yang politikal menjadi personal. 

Naik kelas emang nggak gampang.

crawling to voice

some of my earliest memories of australia were of western sydney. summer of 92/93. a democratic socialist party conference at the university of western sydney (i’ve noticed it’s now the wsu – western sydney uni). i had no idea who trotsky was, what was his beef with lenin, were they in different indie bands? so i spent three days reading lovecraft and crying into my journal (it had a picture of a sunset and a horse on it) in a darkened boarding house room (i closed all the curtains – it was blindingly bright outside), eating oranges i pilfered from the breakfast table (they were free, but it still felt like stealing). 

i saw a wiji thukul performance during the arts night at the end of the conference, a performance art piece acted by himself, assisted by several young white activists, crawling in and out of oil drums with both ends cut out. considering the hearsay of how he was disappeared not more than five years later, these images still play as a chilling short horror flick in my head [ominous music playing]

we were co-living in a group house in dulwich hill along with several other leftist/ish indo activists, including the current director general of culture, hilmar farid, who still had his magnificent wavy glam metal mane then and seemed to be as popular with the ladies as tommy lee. 

i escaped the daily seminar of reading 100 pages from lenin’s collected works by sneaking out to the summer hill pub to see local death metal bands. sadistik exekution played one day. the bouncer seemed unable to guess my age being an ageless azn boy so he just took the five buck note from me every time.

little did i know that this brief period in my life foreshadowed even more depressing years around a decade later of me as an inner westie. 

sylvia nguyen, the anti-heroine of shirley le’s funny af funny ethnics (fr), is not an inner westie, she’s an out-and-out, proper, true blue?, westie from yagoona. i checked on google maps and the first aussie macca’s next to the hume highway mentioned as yagoona’s claim to fame in the novel is only an 18-minute drive from wsu/uws. i could’ve gotten a big mac and nuggies to go with my oranges. 

the novel began with a dramatic soz, mea maxima culpa – sylvia confessing to her first-gen vietnamese immigrant mum me (with diacritic under the e) and dad ba that she was gonna drop law at uni (the already supposedly second-rate macquarie – “most students from slc [her selective school] ended up at the top unis like sydney uni or unsw”) to become a writer. 

the scene straightaway brought my mind back to tracy lien’s all that’s left unsaid (okay, probably only because i’d just finished reading it before continuing my current contemporary aussie novels binge with funny ethnics), also a novel set in/about western sydney (lien’s set in cabramatta in the 90s) featuring a(n actual) heroine who also chooses a left-field profession for a “model minority” in australia (a journalist). 

both main characters, sylvia in funny ethnics and ky in all that’s left unsaid, are even paired with the same type of contrasting, wilder, more slay bffls (sylvia is virginal and fears getting “dickmatised” and her best mate before the inevitable falling out/ghosting/getting canceled/blocked is fast-talking tammy, who studied fashion at TAFE while working part-time at bankstown’s professioNAIL (an artisanail!); ky is a model nerd and her bff is the heavily tattooed minnie who dropped out of highschool to join a cabra gang) – mean girls to their legally browns. 

but in terms of the textacy you get from the prose and the complexity of each author’s positionality/pov – the different strategies le and lien took to weaponize their “own voice” storytelling – the two novels couldn’t be further apart from each other. 

whereas all that’s left unsaid is written as a fast-paced plot-driven page-turner, in no-nonsense prose that borders on the hackneyed (the repeated metaphor of ky’s flashy rimless glasses suggesting she sees things that her community refuses to see is highkey cringe), undoubtedly with an eye for a possible future netflix adapt (this was my first impression early on, but i just checked and there’s an interview with lien on shondaland.com!), funny ethnics is rife with fantastic roflmao digressions (btw, afaik no one else has made the brilliant move to title all their novel chapters with internet acronyms? FML, SRSLY, IDC, GL, etc. – ROFL!) and seems to treat plot as more of an inconvenience than necessity. and i fucking love it. 

in that first scene for example. some reviews quoted the following passage as an example of le’s funny (perhaps it’s part of the press release?): “i had an important announcement to make. earlier, i had cleared away the bowl of kiwi fruit and the napkin dispenser, as well as the matching cork coasters. just in case things became physical.” but for me the best part came right after when le went on one of her magnificent digressions telling the story of an aunt from france who visited her home and had to listen to an archaelogical lesson from ba on the origin story of his prized marble table (where sylvia’s confession was about to take place): “he spent thirty minutes explaining to her that the table was forty thousand years old and watched as she traced her fingers over the little crustaceans that had curled up and died in the slabs of beige stone, ‘c’est magnifique,’ she murmured.” LMAO.

another one of my favourite passages was when sylvia, stuck at home after dropping out of law, went on an expedition to “explore the hidden gens of western sydney” – the first stop “an aqueduct in greystanes that looked like the entrance to a lord of the rings castle.” behind a block of public toilets off cumberland road she encountered joe, a “drop-kick” who identified as a “flâneur” and enlisted her help to pick magic mushrooms in a “shrooms shrub” and split the results 50/50. in this passage le went from realism to electric surrealism in a heartbeat, from rambo: first blood to rimbaud: 1873. “wet soil squelched beneath my fingertips. i inhaled, expecting to smell rain. instead i smelled raw meat. i opened my eyes, looked down and near my finger was a quivering mass of flesh marbled with chunks of fat. i stopped breathing. my brain. my brain had fallen out of my head. i patted the top of my forehead. hair on a skull. i traced a finger along my scalp. checking for stitches. [paragraph break] i’d read mary shelley’s frankenstein in high school, the only book i’d finished in those years. i had been fascinated by the monster, described as having ‘yellow skin scarcely covering muscles and arteries’, its hair ‘lustrous black’, brought to life only to be shunned by society.” 

cleverly putting in a reference to shelley, lowkey comparing the fate of asians (“yellow skin”, “hair lustruous black”) in white australia with the fate of the monster (“shunned by society”) after having just summoned benjamin’s flâneur and stuck him in the Great Australian Bush, at the same time exposing an archetype of modernist malaise as just “a fancy word for bludger” but also displaying a tenderness for him, this average, basic joe (the flâneur’s actual name!) for boulevarding off a highway – a perfect mix of sincerity and artsiness i haven’t seen since, full disclosure, SRSLY, fugazi.

talking about fugazi offers me the perfect segue to my own “own voice”. sylvia and her westie friends detest (white, inner west) indie kids: “listening to triple j was like listening to a foreign radio station. obscure references to people with names like leonard cohen”. IJBOL. i’m brown, and i’ve lived in jakarta, indonesia, for the last 18 years, but i still remember richard kingsmill. i’ve got multiple copies of beautiful losers and songs of love and hate. i spent my teenage years in canberra watching indie films at electric shadows (salo and almodovar’s entire oeuvre up to 1999 were highlights); seeing fugazi, mo tucker, weezer at the anu bar; reading eliot, austen, cohen. my english teacher in highschool (narrabundah college) was fucking geoff page (respect to the dude tho, he once endured reading to a room of students stoned out of their minds during a theory of knowledge camp on the south coast) – i can’t think of a more perfect coconut than me. 

here in jakarta i still speak half english, half indonesian at home and with friends, and run a spoken word night (since 2017) where most of the crowd/readers codeswitch as a rule (earning their pejorative moniker “jaksel” which today seems to stand for anything that screams “privilege!” – from speaking english to wearing head-to-toe masshiros (whites only please). and yet i often feel frustration whenever my white aussie friends (who were my surrogate family when i lived there – and i still love them – and who now live all over the world, though some have also been happy enough to grow roots in tuggeranong) fail to understand the extent of my third-world (mostly financial) precarity. just because i can post about my top 10 gbv albums on instagram doesn’t mean that i can just fly off to sri lanka next year to join them on the australian cricket team’s tour to celebrate 30 years of our friendship. SMH. yes i’m so white australian i even watch the cricket. i did go to the unsw like a model minority azn but i was there to fail a phd thesis on “the bradman myth” (true story). 

i am surprised though, looking back on the very beginning of my writing “career” as a poet, to realise that the very first poem i’ve ever written properly, and by properly i meant once i found out about the real weight of (mainly white, english-speaking) poetic traditions bearing down on me, was a robert lowell pastiche set at badde manors, the famous vegetarian café on glebe point road, inner west ground zero, but one that was – this was my oblique confessional in the poem – questioning my place as a brown boy meddling in english poetry. i’ll quote (just some lines, the whole thing makes me gag, not in a good way):

Lowell would give her a name, grand and old,

like De Witt Clinton, Hoes, or Vanderpoel

Of strange origins and split-second force

hung heavy on history’s family tree.

The sound of morning, meaning still far-fetched,

begins here. The date on the wall, Roman,

smiles and nods its dark head: Lowell is dead. 

“her” was the barista, also white. what am i doing surrounded by all this whiteness? SMH.  

i sent off the poem to a “sydney urban poetry” contest organised by the new south wales writers’ centre (now writing nsw?), and was invited to a reading for being one of the top 5 poets. the reading was at the glebe library, my local, and i was the only brown poet there. when i walked off the stage i could hear an elderly (yes, white) lady telling her friend, under her breath but still loud enough for me to hear, “well, that was a bit dry, wasn’t it?”

the thing is, she was right. LMAO. 

why didn’t write my poem in the ouyang yu tradition instead of lowell? because i didn’t know then there was already an azn-australian man writing angry poems about white australia that weaponized that whitest of literary trope – the irony – against itself. “that is an indonesian struggling with right diction”, says “The White Australian”, “a nameless guy in Asia”, “a literary editor” in white australia in yu’s The White Australian (Kunapipi, 20(2), 1998). 1998! i wrote the stupid lowell poem (real revised title) in 2000! FML.

but is my “own voice” the voice of someone like yu? LMAO. in that poem, there’s a “chinese pretending to write in bad english”, maybe that’s yu being shady about himself, but hey, i really do struggle with my diction! i’m constantly dictiomatised. i want to be funny like le, a perfect cross between lorrie moore’s punny drollness and intan febriani’s savage take-downs (now that’s someone with a strong own voice, pity she doesn’t write anymore). 

on my recent morning walks around menteng, past the old home of suharto, the former dictator who was in the last throes of his rule when i was living down under, past many ugly mcmansions (suharto’s isn’t one, his was in the ’70s civil servant humblebrag style, no doubt deliberately chosen to enhance his farmer boy-made-good father-of-development image), inhaling the sweetish, old sugar factory smell of polluted air – on which an aussie friend now traveling across continental europe (last stop: “fulfilled a lifelong dream to visit notre dame du haut by le corbusier in ronchamp, france. well-described by x as ‘y’s make-a-wish trip to disneyland.’” to be fair, another white aussie friend, one of those who chose to grow roots in canberra suburbia, cut the tall poppy down pronto: “a lecorbusier church – like worshipping at the old belco bus shelter.” WKWKWK) commented when i posted a photo of my morning walk on instagram: “love that weird Asian mega city pollution twilight”). ah irony, the refuge of the educated! 

during those walks i’ve also been listening to a lot of podcasts on contemporary asian-australian books and authors – nina wan, the aforementioned tracy lien (they were interviewed together in one), a live broadcast from the sydney writers fest featuring the spec-fic novelist grace chan, le’s stablemate at affirm press (btw, chan’s bio is “australian writer and psychiatrist”, a model minority for me if ever there was one!), a feature on the helen demidenko affair (remember her, née darville, now dale? now that’s someone who struggled with their own name let alone their “own voice”!), and so far two interviews with le herself that i’ve found. the second one was actually tacked on to the end of the abc book show’s “fakes and frauds” episode on the helen demidenko affair – was it in any way deliberate, why? – featuring an interviewer who i thought was more than a bit irritating, slyly suggesting that perhaps the readers would like to hear more about sylvia’s parents’ boat people stories when the whole point of funny ethnics was telling the story of the second generation of vietnamese refugees in australia (sylvia’s/le’s), not the first (ba’s and me’s with diacritic)! note the clever way le uses the mum’s name, me with the diacritic and the object pronoun me for sylvia – sometimes you have to do a double take, did she mean me or me with the diacritic?, to suggest, almost primally, the deep emotional connection and compassion between the two despite the generational gap. the abc interviewer’s question is like if an old bule expat asked me, after reading my novel set in the jaksel club scene – the vixens, the mr foxes, the duck downs – ”no, please, tell me more about zanzibar and tanamur.” SMDH.

in several of these podcasts, le spoke of a “coming to voice” – aka, in her case, finally finding her “own voice” in the company of other sydney westie poc writers at sweatshop, “a literacy movement based in western sydney which is devoted to empowering culturally and linguistically diverse communities through reading, writing and citical thinking”, whose founding director michael mohammed ahmad wrote the lebs, the first of these sydney westie novels i read (sometime before pando) which kicked off this slow binge.

i wish sweatshop had existed when i was still living in sydney in mid-2000s – when i wrote that first poem whose voice was colonized by lowell, the whitest, born with the silverest of a silver spoon among the confessional poets. SMH. if there was something like sweatshop back then, perhaps i would not have felt so alone or confused, disconnected. i knew even in that très coconut poem that i was questioning my place not only in white australia but also in the western english-speaking poetry traditions – but the question manifested itself only vaguely through the subconscious and the alchemic magic of poetry, suddenly it was there at the end of the poem, but i didn’t know how it got there, or what exactly it (i) was asking or demanding. i felt there was something wrong with me, or the situation i was finding myself in – not realising that it was a sign instead of being wrong that i was actually on the right track to find my own voice even if i was still in the very beginning of the journey. 

on le’s instagram there’s a poster of a session she appeared in at the latest brisbane writers fest, captioned “coming of rage”. IMHO though funny not quite the perfect made-up genre for funny ethnics. i’ve been tearing my hair out trying to find a working pun of my own for it, but so far no go. le’s novel is more of a comic, parodic, anti-, bildungsroman. if sylvia and tammy were dudes, i’d have my pun and call it a bildungsbromance. on the evidence of this debut novel, le is already a masterful comic author, and in that regard (only) she shares more with evelyn waugh or lorrie moore than with, say, michael mohammed ahmad. the combo of comedy and bildungsroman is well established. comedy can be savage on the genre’s anxiety about the social, professional, and romantic standing of its heroes/heroines, and le somehow manages to combine savagery with empathic irony in funny ethnics, presenting like a lovechild of bianca del rio and jinx monsoon. for example, when she went on full-on parodic mode to tear the “native speaker english tutor” stereotype to pieces by creating the jabba the fat bastard-like character of “Sir” – “The stench engulfed us and so did the humidity. The small room was crammed with at least fifty Viet children… In the middle… sat a white man with yellow-white hair slicked back and fluffy white hairs trailing down his jowls, sticking out of his ears and visible from under his vulture-beaked nose. He was the source of the smell.” – she then did an almost complete u-turn, lowkey praising him for teaching the kids prosody via poe’s poetry and his roasting of teacher’s pet/”vocaburglar” joey pham: “… MY BOY. BIG WORDS DON’T EQUAL BIG MEANINGS. BEING CLEAR AND HAVING INTERESTING IDEA IS WHAT MATTERS.” le never guns for “white tears and white laughs“, but she doesn’t go for easy brown(ie) points either. funny ethnics is morally complex, like all good comedies are.

so when le said in the helen demidenko podcast that “the spectrum of humour and laughter is just so wide, and i’ve tried to explore that in funny ethnics where we get all types of laughter, from a snicker to a deep, rich laughter straight from the belly”, for once she wasn’t joking. SRSLY.

so yeah, if only sweatshop – perhaps i could’ve completed my coming to voice years ago instead of still struggling in my middle age with a slow AF crawling to voice. FML.

Madame la directrice, I 💘 You

Sebagai penulis yang sering dipertanyakan kenapa “ngehek”, “nyinyir”, “borjuis”, “keminggris”, saya berhutang banyak kepada puisi-puisi Toeti Heraty (Rest In Eternal Cocktail Party) sehingga akhirnya saya berani menjadi diri saya sendiri yang sepenuhnya—ngehek, nyinyir, borjuis, keminggris. 

Kalau penyair laki-laki sok kosmopolitan segenerasinya seperti Goenawan Mohamad, misalnya, membuat kota-kota di luar negeri sebagai latar belakang eksotis puisi-puisi mereka—seperti influencer lagi pamer foto-foto liburan di Instagram #wanderlust—Toeti, yang hanya dari melihat judul-judul puisinya kita tahu sering berkelana ke luar negeri (“Geneva Bulan Juli”, “New York I Love You” yang di kemudian hari diganti judulnya jadi “I 💙 New York”, “Surat Dari Oslo”), melihat kota-kota itu dengan santai saja, seperti nongkrong di kafe dan mending konsentrasi mengoles mentega (bukan margarin ya!) di croissant daripada nontonin jalanan. 

(Madame la directrice, putri Bapak Beton Indonesia Roosseno Soerjohadikoesoemo yang memulai karirnya dengan mendirikan Biro Insinyur Roosseno & Soekarno (ya, Ir. Soekarno yang itu) punya kafe sendiri di Galeri Cemara 6 miliknya di Menteng, yang juga museum dan losmen favorit seniman-seniman dan aktivis nusantara (“agak terhormat dengan sebutan Galeri?” :D). Jika telpon ke asistennya tidak diangkat, orang akan dinasehati untuk datang saja pagi-pagi ke Cemara, Bu Toeti pasti ada di situ sedang menikmati petit-déjeneur-nya. Kafenya satu lagi di Oktroi Plaza Kemang juga tempat nongkrong yang asoy jauh sebelum ada Starbucks di seberang.)

Bandingkan Goenawan yang mengeluh “pagi ini tak ada koran untukku” di Cambridge atau Taufik Ismail yang melongo melihat “trem berkelenengan” di San Francisco seperti balita pertama kali lihat odong-odong, dengan Madame Toeti dihampiri “laki-laki kedinginan… minta karcis sobekan untuk menikmati sisa pertunjukan” di Metropolitan Opera di New York (“karcis 84 dollar tidak keberatan, masalahnya hanya parkir”—di “New York I Love You”), maka reputasi flâneur ndeso yang dipertahankan sampai sekarang oleh penyair-penyair angkatan Hallmark Indonesia seperti Aan “Tidak Ada New York Hari Ini” Mansyur rasanya agak terobati. The Empress Writes Back!

Bandingkan juga Goenawan yang mencemaskan “getar separuh senja antara deru mobil” (“Catatan-Catatan Jakarta”) dengan Toeti yang santai jogging di Jakarta sambil berkomentar nyinyir “nama-nama jalan telah diganti, sampai kehabisan pahlawan mati” (“Jogging di Jakarta” née “Aerobics di Jakarta”). LOL. Mungkin kekosmopolitan nyinyirnya/kenyinyiran kosmopolitannya ini salah satu penyebab revival nama Toeti Heraty sejak beberapa tahun terakhir di antara penyair-penyair muda Jaxel dan sekitarnya. Saat mereka (oke, termasuk saya) mencari-cari role model yang worldview-nya nyambung, pilih Jantung Lebah Ratu atau Pesta Tahun Baru? “Kantung air selebar pelana” (“Penyair”, Nirwan Dewanto) atau “gelas anggur di tangan” (“Cocktail Party”, Toeti ma kween)? 

Hampir sedekade lalu (awal 2012), komunitas puisi online BungaMatahari menyelenggarakan Festival Tanpa Nama, pameran puisi-puisi yang nama pengarangnya dihapus kemudian pengunjung diberi stiker Mickey Mouse buat ditempelkan ke puisi favorit mereka. Pemenang favorit pembaca hari itu adalah puisi berjudul “British Traditional Breakfast” karya Sirikit Syah, yang menurut titimangsanya ditulis di Oxford tahun 2000 (kurang borju apa lagi). Belum pernah dengar Sirikit Syah siapa? Ibu Toeti sudah dong, ia yang mengumpulkan puisi-puisinya bersama 16 penyair perempuan Indonesia lain (termasuk dia sendiri) dalam antologi berjudul Selendang Pelangi (2006). 

Ini juga yang asoy dari Madame la directrice, dia menggunakan privilese anak Mentengnya bukan cuma untuk mempromosikan dirinya sendiri tapi juga banyak sekali penyair-penyair perempuan lain. Selendang Pelangi bukan antologi penyair perempuan Indonesia pertama yang dia kumpulkan. Di tahun 1979 dia juga menerbitkan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih: Bunga Rampai Puisi Wanita (“diprakarsai oleh” Ny. Nelly Adam Malik) yang berisi karya 19 penyair perempuan—termasuk penyair Lekra S. Rukiah, hampir 30 tahun sebelum Rukiah diterbitkan kembali Ultimus (2017)!—dan 9 pelukis perempuan. Kaum 0.1% membantu kaum 99.9%, Madame Toeti juga woke sebelum waktunya! 

Di dalam antologi ini juga ada satu puisi oleh penyair bernama Soegijarti (penyair lain dapat lebih dari satu) yang dideskripsikan di bionya sebagai penulis yang “terkenal aktif dalam gerakan pemuda di awal zaman revolusi kemerdekaan di Yogya dan menulis puisi perjuangan dalam majalah pemuda ‘Seniman’ pimpinan Trisno Sumardjo dan ‘Revolusioner’ yang terbit di Yogya dan Solo.” Apakah ini Soegijarti yang sama dengan cerpenis dan penyair perempuan Lekra Sugiarti Siswadi alias Damaira yang juga orang Solo kemudian pindah ke Yogya? Perlu diselidiki. Calling Bilven Sandalista dan JJ Rizal!

Tanpa menunggu jawaban pun, jasa Madame la directrice sebagai gatekeeper yang rajin mengangkat nama penyair-penyair perempuan sudah jelas terbukti. Privilesenya memberinya kekuasaan untuk melawan dominasi gatekeeper laki-laki dalam sastra Indonesia dan dia melakukannya tanpa banyak cingcong. 

Privilese itu juga membuatnya santai saja menghadapi gaslighting yang bertubi-tubi. Misalnya, blurb bukunya sendiri, Nostalgi = Transendensi (Grasindo, 1995), menyebutkan “penyair wanita Indonesia dapat dihitung dengan jari”. Bayangkan, di-gaslight penerbit sendiri! Kurang transenden nih sepertinya editornya sampai belum pernah baca Seserpih Pinang Sepucuk Sirih. 

Monas, Pancoran, Kebayoran, Kuningan, Karet, Menteng Pulo, Tanah Kusir, Kampung Bali—beberapa nama tempat di Jakarta yang disebutkan dalam puisi-puisi Madame Toeti. Konkrit, spesifik. Dengan imaji-imajinya sendiri-sendiri yang familiar buat anak-anak Jxkxrtx. Cocok dengan kecenderungan beberapa penyair-penyair perempuan angkatan 2015-an ke atas seperti Farhanah, Ratri Ninditya, dan Gratiagusti Chananya Rompas (istri saya), yang gemar share loc (“Alfamart yang tidak terlalu alfa dibanding indo”, “buat apa ke brightspot!”, “dari jalan madura belok ke cik ditiro”) karena puisi adalah kenyataan, apa perlunya disamarkan? 

Bandingkan dengan “sungai yang tak berkata-kata”, “puncak kota”, “rel-rel suram kemerlap”. Siapa yang bakal tahu puisi yang mengandung kata-kata ini ternyata tentang Jakarta kalau nama kota ini tidak tertera dalam judulnya (“Catatan-Catatan Jakarta” Goenawan Mohamad tadi)?

halo nyonya old money,

tahukah nyonya, kami semua tumbuh besar di balik kehangatan rambut sasak nyonya. sama sekali tak pernah ada niat di hati kami buat keluar. di sini nyaman, empuk sekali, bau melati.

merci dan salam hormat,

penyair2 mestizo paruh kedua 2000-an.

Begitu sebuah fantasy e-mail yang saya tulis di salah satu blog saya di awal tahun 2008, gara-gara habis menemui satu detil yang sangat menawan saya di puisi “Balada Setengah Baya”, yang tentang check-in di hotel, aktivitas yang sangat familiar buat saya di tahun-tahun itu. “Pas pintu berderak, dia masuk bawa tas echolac”—bukan, bukan rimanya yang menawan, tapi setelah meng-google kata “echolac” (memang ditulis dengan e kecil, paling tidak di edisi Nostalgi = Transendensi), ternyata itu adalah merek koper! Versi salaryman dari koper President yang dulu saya pakai di kelas 2 SD. Penemuan kecil inilah yang menghapus keragu-raguan saya untuk pamer nama-nama merek dalam puisi saya, toh saya adalah anak borjuis yang konsumtif dan suka berkoar-koar puisi adalah kenyataan, nggak nyata banget dong kalau saya nggak menyebutkan nama-nama mereka (punch me in the face if I ever say jenama). Dari dulu saya ingin menjadi coterie poet seperti Frank O’Hara, tapi akhirnya saya menyadari saya nggak punya banyak teman, hanya banyak barang. Merekalah coterie-ku! Speak, Repetto Zizi Hommes, Marni, Yohji, P.A.M., Margiela, Westwood, McMuffin! 

Madame Toeti membebaskan saya, bebas mau ngomong tentang subyek apa saja, mau menyebutkan apa saja tentang subyek itu, pakai bahasa apa saja. Nasihatnya tentang puisi (dan hidup) yang paling kena bagi saya bukan baris dalam puisi “Post Scriptum” yang sejak dia meninggal sering dikutip di sana-sini, “antara menyingkap dan sembunyi, antara munafik dan jatidiri”, tapi baris di awal sajak “Panta Rei” yang sepertinya lebih tidak serius tapi sebenarnya adalah penggambaran hidup manusia yang paling padat, akurat, tidak perlu kiasan lagi: “‘kan selalu begitu, kita bicara ini dan itu.”

an image of noemetan

beberapa soal di luar isi cerpen “keluarga kudus” sunlie thomas alexander yang baru saja ditahbiskan sebagai cerpen pilihan kompas 2022 — terutama kemungkinan cerpen itu mengapropriasi cerita lisan istri sunlie sendiri, yonetha rao yang berasal dari timor (“cerpen di atas sebagian bahan ceritanya dari saya”, tulisnya sendiri di sebuah pembahasan cerpen tersebut di sebuah fb thread tahun lalu), salah satu dari beberapa kritik tentang cerpen ini yang diangkat oleh saut situmorang — sudah gencar sekali dibahas beberapa hari ini. saya tidak akan terlalu banyak bicara tentang hal tersebut di artikel kali ini, cukup rasanya untuk mengutip komentar narator omniscient (tuhan?) di cerpen keluarga kudus ini sendiri tentang apa yang umumnya terjadi pada gosip yang beredar dari mulut ke mulut: “setiap orang pun bisa menceritakannya ulang, persis seperti versi yang ia dengar atau sebagai versi barunya sendiri”.

di artikel ini saya lebih ingin meyambut deklarasi sunlie, “TAK ADA URUSANKU DENGAN PENILAIAN ORANG LAIN TERHADAP KUALITAS CERPENKU YANG MANA PUN! ITU KAN URUSAN PEMBACAAN ORANG TERHADAP CERPENKU!” [huruf kapital dia sendiri] dengan melakukan pembacaan dekat terhadap tema, gaya penulisan, dan ideologi-ideologi yang mungkin terselubung di dalam cerpen keluarga kudus. sukur-sukur bisa mengelaborasi dan atau membongkar maksud semi-mistis (karena nggak ada argumennya) ketua dewan juri cerpen pilihan kompas, putu fajar arcana, seperti dikutip oleh budi p hutasuhut di post fbnya: “ia lihai menjalin cerita. sunlie paham tengah memasuki wilayah sensitive, sarat aturan, mapan, tapi juga sophisticated.”

secara genre, cerpen keluarga kudus ini bisa digolongkan sebagai sebuah satir, cerita yang menyinyiri — menyorot dan mengungkap — hal-hal buruk tentang sekelompok orang, masyarakat, atau institusi dengan maksud mengkritisinya — sebuah kritik sosial. dalam cerpen ini, yang dinyinyiri secara langsung adalah institusi dan lingkungan gereja katolik di sebuah paroki di “noemetan”, yang menurut berbagai bahasan tentang asal-usul dan proses kreatif cerpen ini adalah sebuah area yang menjadi bagian dari keuskupan atambua di bagian indonesia pulau timor.

apakah noemetan ini seperti “dukuh paruk” ahmad tohari, sebuah nama tempat rekaan yang menyamarkan tempat beneran, atau seperti “mojo” dan “laban” martin aleida, nama tempat beneran yang sengaja dipertahankan di cerita-cerita sastra kesaksiannya, google tidak bisa memberikan kepastian. ada sungai bernama noemetan noetoko (beneran) di timor tengah selatan yang, seperti sungai bernama sama di cerpen ini yang sering “meluap hingga… memutuskan jalan desa”, menurut artikel-artikel berita juga sering banjir. selain itu, petunjuk di dalam cerpen yang mengidentifikasi setting lokal cerita ini sebagai sebuah tempat di timor adalah penggunaan dialek timor untuk dialog karakter-karakternya, kebanyakan berupa penggunaan kata-kata seperti “sonde”, “beta”, “sa”, “katong”. menurut keterangan sunlie di artikel panjang lebar tentang proses kreatifnya di balik cerpen ini yang dimuat di langgar.co, ia memakai “kosakata bahasa melayu kupang dan sedikit kosakata bahasa dawan.” alasannya, “itu semua menurutku berguna untuk menguatkan warna lokal cerpen saja.”

keluarga kudus, kecuali judul ironisnya yang menyinyiri keluarga kudus yang sebenernya nggak kudus, adalah jenis satir yang lebih mengandalkan karikatur dan olok-olok daripada ironi untuk melancarkan kritik sosialnya. makanya cerpen ini dipenuhi karakter-karakter jemaat paroki yang direpresentasikan memakai berbagai macam klise dan stereotipe orang-orang nggak bener: “ibu-ibu ceriwis yang suka mengomel” (salah satu dari beberapa penggambaran yang juga seksis), bapack-bapack yang ber-“sepeda motor tua dua tak” dan hobi “ngopi, nenggak sedikit sopi, lalu main catur atau gaple sampai larut malam”, atau oma yang “mendelik di tengah kepulan asap tungku” (seksis lagi? atau ageist? kenapa cameo seorang “janda tua” ini harus terjadi di dapur?).

itu dari segi karakterisasinya. dari segi plot (yang tipis banget), sepertinya sasaran utama kritik sosial cerpen ini adalah eksploitasi gereja pada jemaatnya yang dilambangkan lewat kewajiban membayar derma (derma tapi wajib, mungkin ini sebuah ironi juga) dan sumbangan pembangunan gedung paroki baru yang jumlahnya terlalu mahal dan bukan suka rela karena ditetapkan oleh romo. dan ternyata derma wajib itulah faktor penentu pemilihan “keluarga kudus” yang diparadekan di gereja sebagai bagian dari perayaan natal tiap tahun, bukan kekudusan anggota-anggota keluarganya. selain itu, juga ada gosip bahwa salah satu keluarga kudus dipilih karena sang istri yang “walau sudah beranak tiga” “tetap cantik memikat” dan “punya suara merdu” dianakemaskan oleh gereja karena “pernah berbuat skandal” dengan bruder, ketua lingkungan jemaat, dan mungkin bahkan romo sendiri.

menjadikan kebobrokan bukan hanya institusi gereja yang eksploitatif pada jemaatnya, namun juga jemaat gereja itu sendiri — yang hobinya cuma nyinyir, keseringan nongkrong daripada ke gereja, bejat, terlibat skandal seks dan biang gosip pula, alias sama sekali tidak kudus, sebagai target satir, bagi seorang penulis seperti sunlie yang dibesarkan sebagai katolik dan beristrikan seorang katolik dari timor (sehingga klaimnya mereka pun harus ikut membayar derma seperti yang diceritakan di cerpen itu) di atas kertas sepertinya cukup politically correct. dilihat dari kacamata politik identitas, sunlie bisa dianggap sebagai bagian dari identitas katolik sehingga punya hak untuk bercerita tentangnya dan mengkritisinya, dan sebagai suami seorang yang berasal dari timor mungkin dia bisa juga dianggap sebagai ally orang beridentitas timor.

sampai di sini mungkin cerpen keluarga kudus bisa dibandingkan dengan novel “temanggung, yogayakarta” arie saptaji, yang juga sebuah j’accuse, tuduhan, kritik, hardikan!, terhadap institusi dan lingkungan gereja. beda cara penulisan kedua cerita ini ada banyak, namun yang relevan disebutkan di sini adalah bahwa temanggung, yogyakarta ditulis sebagai sebuah bildungsroman, novel drama coming-of-age, bukan satir, menggantungkan diri pada penyelaman psikologis terhadap watak karakter-karakternya dan bukan pada olok-olok terhadap mereka, dan bahwa penulisnya bukan hanya pernah hidup (bahkan bekerja) di dalam institusi gereja yang dikritiknya namun juga bertempat tinggal di lokasi-lokasi tempat gereja tersebut bernaung yang kemudian menjadi setting novelnya.

tentu seorang penulis tidak mutlak harus mengalami sendiri semua yang ditulisnya. jonathan swift, salah satu satiris paling besar dalam sejarah, tentu tidak perlu harus main dulu ke lilliput, brobdingnag, atau laputa buat nulis gulliver’s travels. tapi kenyataan bahwa f. rahardi adalah editor majalah trubus tentu sangat membantunya menulis mahakarya satir lingkungan hidupnya, migrasi para kampret. (nggak perlulah jadi kampret beneran, batman dong.)

tapi apakah menjadi identity-politically correct cukup untuk membuat keluarga kudus bersih suci sama sekali dari dosa “kolonialis” dan “rasis” seperti yang dilakukan penulis “macam multatuli dan joseph conrad yang ngejek-ngejek masyarakat lokal yang bukan masyarakatnya sendiri dalam karya mereka”, seperti yang dibilang saut situmorang?

di sinilah ketergantungan sunlie pada karikatur dan olok-olok klise (lihat juga “cibiran bibir mencong, cemooh dan bisik-bisik yang terdengar seperti denging nyamuk dari sekalian kaum mama dan nona” — lagi-lagi juga seksis, sebenernya hanya bentuk sastrawi berbunga-bunga dari “cewek-cewek bigos”) bisa jadi memang telah menjerumuskannya pada kubangan dosa yang sama bareng multatuli dan conrad.

analisa tentang kolonialisme dan rasisme dalam max havelaar, novel multatuli, bisa dibaca dalam esai saut “max havelaar: buku yang membunuh kolonialisme?” di bukunya yang terbaru sastra dan film atau di situs boemipoetra. perbandingannya dengan kemungkinan kecenderungan kolonialis dan rasis sunlie dalam cerpen keluarga kudus biarlah nanti saut sendiri yang menuliskannya. sembari kita menunggu (ih seru), perbandingan antara keluarga kudus dan karya conrad yang dimaksud saut, heart of darkness, bisa dimulai dengan membaca esai klasik novelis nigeria chinua achebe, penulis novel dekolonial things fall apart, tentang conrad yang berjudul “an image of africa: racism in conrad’s ‘heart of darkness’”.

dalam esai ini, achebe mengatakan bahwa “eropa selalu punya hasrat untuk menjadikan afrika sebagai alat pembanding, sebagai ‘tempat negasi’ yang jauh tapi akrab, yang jika disandingkan dengan eropa maka keagungan spiritual eropa akan lebih nyata lagi terlihat.” lebih jauh ia kemudian menunjukkan bahwa “heart of darkness menggambarkan afrika sebagai ‘dunia lain’, antitesis dari eropa dan peradaban.”

dalam artikel profilnya yang dimuat di kompas setelah keluarga kudus diumumkan jadi cerpen pilihan kompas, yang oleh penulis-penulis mainstream masih dianggap sebagai barometer sastra indonesia, sunlie mengklaim bahwa dalam cerpen ini “saya tak bicara ranah agama tertentu tapi semuanya.” ini klaim yang walaupun bisa dimengerti alasan praktisnya (males juga dituduh menyinggung SARA), namun melemahkan potensi cerpennya sendiri dan menambahkan berbagai problem etis soal apropriasi. sekarang problemnya bukan hanya apakah sunlie mengapropiasi cerita yonetha, tapi apakah pantas seorang penulis dari belinyu-yogya mengapropriasi cerita dan kehidupan gerejawi di timor, dan mengejek-ngejeknya sebagai sebenernya un-gerejawi, un-kudus, (hanya) untuk mengkritisi agama-agama lain?

kalau nggak bicara ranah agama tertentu (orba banget bahasanya) kenapa memakai cerita tentang kebobrokan institusi dan lingkungan gereja? pertama, kasian amat gereja lagi-lagi harus memikul salib jadi sekedar kendaraan slash metafora buat nyinyirin agama lain atau agama secara umum (sering dilakukan dalam berbagai bentuk seni di indonesia, misalnya olok-olok terhadap gereja katolik di film pintu terlarang joko anwar)? kedua, memangnya detil-detil kebobrokan dalam gereja dan lingkungannya sama dengan kebobrokan dalam islam atau agama lain? bisa dimengerti kalau sunlie males juga jadi charlie hebdo, mengolok-olok islam dengan konsekuensi yang mungkin sekali lebih fatal. tapi apakah adil bagi katolisisme dan orang katolik timor untuk diolok-olok — dijadikan “tempat negasi” dan “dunia lain” seperti afrika dalam heart of darkness conrad — hanya untuk menunjukkan kegemilangan spiritual… siapa?

dalam heart of darkness naratornya adalah marlow (masih difilter lagi oleh narator kedua yang samar-samar), walaupun seperti achebe dengan jeli perlihatkan, marlow ini sama aja kayak doppelgänger conrad. jadi siapa atau apa yang diwakilkan oleh suara narator yang patronising, condescending dan, memakai istilah saut, ngejek-ngejek di cerpen sunlie? kesuperioran moral si omniscient narrator? jika itu adalah suara sunlie sendiri, apakah yang dianggap superior adalah… moralitas sunlie? sehingga ia merasa pantas untuk mengolok-olok karakter-karakter orang timor di noemetan? bahkan mengapropriasi mereka sebagai senjata serangan satirnya terhadap institusi agama di ranah bukan tertentu di indonesia? ketiga, makin problematik lagi, cerpen keluarga kudus, memakai istilah yang beberapa kali dipakai untuk mengkritik penggambaran keluarga miskin parasit di film parasite bong joon-ho, juga melakukan “punching down”, merendahkan, men-dehumanisasi sekelompok orang yang katanya sedang dibela harkatnya (di kasus sunlie, jemaat yang dieksploitasi gereja). apakah semua ini yang dianggap “lihai” oleh putu fajar arcana?

satu lagi tanda bahwa, seperti penggambaran orang afrika dalam heart of darkness, penggambaran orang-orang noemetan dalam cerpen keluarga kudus kemungkinan juga kolonialis dan rasis seperti yang dituduhkan oleh saut, adalah pemakaian dialek timor, seperti kata sunlie sendiri, “untuk menguatkan warna lokal cerpen saja”. menurut achebe, dalam heart of darkness conrad menganggap “bahasa terlalu megah buat orang-orang ini [karakter-karakter afrikanya], mereka cukuplah ngomong pakai dialek!” dari manakah gaze kolonial di cerpen keluarga kudus berasal? apakah dari jogja? jawa? dari “indonesia”? atau dari “sastra indonesia”? atau dari “cerpen kompas”? yang merasa lebih modern dan bisa berbahasa indonesia yang baik dan benar seperti narator cerita ini?

kuasa kolonial kompas dalam sastra indonesia, seperti telah disindir oleh budi p hutasuhut dalam postnya, sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menimbang cerpen keluarga kudus. yang “tengah memasuki wilayah sensitive”, seperti dibilang putu fajar arcana, sebenarnya bukan cuma sunlie pengarangnya, tapi juga kompas penerbitnya. punya hak apa kompas di palmerah, jakarta, memuat cerita yang “ngejek-ngejek” masyarakat di noemetan, timor? kalau yang dimasuki oleh cerpen ini benar “wilayah yang sensitive”, apakah ada di dalam cerpen ini, meminjam apa yang dianggap absen juga dari heart of darkness oleh achebe, “frame referensi lain yang bisa kita pakai untuk menilai tingkah laku dan pikiran karakter-karakternya”, selain nada mengolok-olok, ngejek-ngejek, naratornya?

narator sama yang sepertinya tanpa merasa bersalah juga mendeskripsikan “bibir mencong”, “bokong molek” (“terbalut ketat kain tais tenunan”, tak pelak lagi untuk “menguatkan warna lokal saja”?), “bisik-bisik seperti denging nyamuk mama dan nona”, serta “menyeka keringat di lehernya yang berlemak” (kenapa harus berlemak? apa relevansinya ngejek-ngejek body shaming dalam satir kritik sosial yang coba dilancarkan cerpen keluarga kudus ini?). sensitif nggak nih narator cerpen ini dalam memasuki “wilayah sensitive” ceritanya?

achebe dalam esainya juga menyitir kritikus inggris f.r. leavis yang dengan jeli mendeteksi “adjectival insistence” conrad dalam heart of darkness, ketergantungannya pada kata sifat yang “emotive” (istilah achebe) untuk mendeskripsikan afrika dan orang-orangnya. kecenderungan ini sering dianggap sebagai sekedar “stylistic flaw”, kelemahan gaya, oleh kritikus barat, namun menurut achebe, “jika seorang penulis berpretensi merekam adegan, insiden dan akibatnya, tapi sebenarnya sedang sibuk berusaha menghipnotis pembacanya dengan cara menghujani mereka dengan kata-kata emotif dan tipuan-tipuan lain, maka ini sudah bukan masalah kelemahan gaya saja”. menurut achebe justru ini sebuah “under-hand activity”, aktivitas yang disembunyikan, yang seharusnya menimbulkan banyak pertanyaan tentang “artistic good faith”, kemauan baik, si penulis tersebut.

pertanyaan soal artistic good faith ini juga patut diajukan kepada sunlie dan cerpen keluarga kudusnya. hal itu meliputi kemungkinan apropriasinya terhadap cerita orang lain hingga apa yang dia lakukan dengan apropriasi itu. apakah untuk “mengkuduskan” karakter-karakter dan lingkungan yang sepertinya mewakili jemaat katolik di noemetan in real life (ini toh cerpen realis), atau mengkritik mereka, atau meminjam cerita mereka untuk mengkritik semua institusi agama (atau “ranah agama tertentu” tapi belum tentu katolik?), atau malah hanya untuk ngejek-ngejek mereka? untuk masalah etika apropriasi ini mari kita tunggu esai saut, untuk sementara dengan melakukan pembacaan lumayan dekat atas gaya bercerita dalam cerpen keluarga kudus ini, terutama soal suara naratornya dan penggambaran karakter-karakternya, sepertinya ada lumayan banyak bukti bahwa cerpen ini, meminjam istilah achebe lagi, melakukan dehumanisasi meskipun samar-samar, disembunyikan dalam olok-olok yang sepertinya diterima begitu saja oleh pembaca yang tidak kritis — atau paling tidak oleh juri cerpen pilihan kompas — terhadap orang timor. sebuah bentuk gaze rasis dan kolonialis yang bisa saja tidak disengaja, namun biarpun under-hand, tetap ada dan terasa.

rums

rumah. aku hendak pindak rumah. rumah kata. sebuah bangunan yang terus berubah dari rangkaian patahan lidi. kunci. kakus menabuh kamar koran minggu. rumah daging. rumah pikiran. gudang. di mana tempatmu dalam sastra indonesia, mikael? mau bertamu ke rumahnya atau puas saja melempari batu ke atapnya? tapi aku bukan teman dari atap bahasa? siapa yang mau bertamu kalau tuan rumahnya jejeritan histeris seperti korek api membakar almari es?

kenapa (imaji) (tentang) rumah kayaknya penting banget buat penyair indonesia? kerna rata-rata gak punya rumah, saut menjawab. aku sad emoji. kalah dong ama keong, benki menjawab saut. aku lol emoji.

aku kagum emoji melihat postingan-postingan facebook malkan junaidi, the other mj, menguli membangun rumah, pesantren, sekolah, 80 ribu rupiah per hari. kupikir, lumrah juga judul buku puisi barunya pakai kata rumah, he can fuckin build the damn thing!

rumah daging dan pikiran. seperti apa rumah yang menyimpan daging, yang dibangun dari pikiran, harian borongan mana yang lebih efektif dan ekonomis dan puitis?

the other mj in his spare time (kok bisa masih punya spare time! :o) juga menerjemahkan the waste land, les fleurs du mal, some dude who won the nobel prize; juga mampu meruntuhkan reputasi kepenyairan nirwan dewanto dengan cukup satu zinger saja di facebook: “kita ndak usah baca puisi, nirwan. kita baca kamus saja”. aku rofl emoji. where does he get the energy?

buku baru ini kata malkan “tidak diberi label buku puisi atau kumpulan puisi. sebagian isinya mungkin bisa disebut puisi.” aku komen, kumpulan tulisan dong? haha. kayak buku anya rompas yang terakhir, e_____y, yang diberi label kriptik itu. pesan dua ya.

akankah buku baru ini lain banget dari buku-buku malkan sebelumnya? “di bawah cahaya yang terpancar dari ingatan chelsea islan terbang ke lidah bulan”. much wow poetic tropes. cahaya, ingatan, bulan, lidah bulan. gimana caranya melarikan diri dari rumah puisi indonesia?

murid kehidupan. jemari cinta. turbin permenungan. dusun kenangan. kuntum mimpi. vast dying sea of boredom. pity you parachute pants of my soul. kok masih puisi indonesia? thumbnail (pake italic) keberadaan. okay, a bit internet of things, a bit kitsch. apakah ini yang ia sebut sebagai “membahasakan yang belum terbahasakan” (“simulakra”, hal. 67, salah satu dari beberapa puisi tentang proses kreatif menulis puisi di buku ini. yang lain misalnya “mediokritas”, hal. 63, dan ya, “proses kreatif”, hal. 49, ketiganya di dalam bab “ruang kerja”). maybe more like membahasakan yang belum terbahasakan pake bahasa yang i’m sorry tapi udah basi, yang udah sering dipakai penyair-penyair lain?

padahal buku ini rapi-jali. nothing out of place. puisi-puisi (tulisan-tulisan) semua disimpan di bab-bab yang baik dan benar. impresi 02:00 di “beranda” (lagi nongkrong ya?); malam tak usai di “ruang tamu” (lanjut nongkrong! halo hamzah!); proses kreatif, ilham, dan pengaruh di “ruang kerja”; historiografi di “gudang” (setuju!); menghadapi-mengimani-upacara kehilangan di “ruang sungkawa”; hari tua di “ruang tafakur” — membacanya dari depan ke belakang seperti jalan mengikuti alur rute pengunjung IKEA (you are here and 5 hours later you’re still gonna be here) tapi isinya informa.

btw, cover buku ini didominasi warna biru dengan tulisan kuning — warna IKEA!

tapi apakah cukup untuk menjadi rapi-jali di dalam dunia puisi indonesia mainstream yang stagnan? cukupkah memuisikan renungan-renungan yang sudah pernah diartikulasikan penulisnya lebih dulu dengan sangat jernih di facebook menjadi tulisan-tulisan prosaik-esaistik tapi dengan diksi puitis (the real puisi esai!) yang sayangnya malah sering bikin pikiran-pikiran penulisnya jadi lebih gak jelas dibacanya?

contoh: semua tulisan di bab ruang kerja esensinya adalah versi puisi yang prosaik-esaistik banget (coba aja memobilisasi baris-barisnya dengan menghilangkan semua enjambmentnya jadi paragraf biasa aja) dari postingan malkan di bawah ini (yang dimulai dengan membahas upah kuli bangunan vs. honor menulis puisi dari almarhum ahmad yulden erwin (honor puisi aye masih kalah)):

Penyair biasa memulai sebuah tulisan dari ilham, epifani, atau momen ketersingkapan, yang mana seperti tusukan jarum pada plastik, otomatis membuat air di dalamnya memancar; yakni begitu epifani dialami, umum mewujud sebagai sebuah gagasan segar, sebuah kesadaran dengan perspektif yang belum pernah diketahui, maka bagian-bagian pendukungnya muncul dengan sendirinya, mengalir begitu saja. Adapun jika penyair menulis tidak dari epifani, maka prosesnya lazim tersendat-sendat. Kalaupun lancar maka sering jatuh pada klise.

Masalahnya untuk tiba pada epifani tidak ada cara praktis sebagaimana cara kerja kuli bangunan. Ia adalah satu titik di ujung sebuah proses psikologis yang kompleks. Merenung mungkin dapat dibayangkan sebagai cara praktis dan ideal. Namun berdasarkan pengalaman pribadi, epifani muncul sering justru ketika saya tidak sedang merenung. Kadang ia muncul saat saya menyaksikan sebuah peristiwa unik, atau ketika saya mendengar susunan kata tertentu. Ada sesuatu rasa dan pengertian yang terakumulasi di benak, menunggu sesuatu pemantik yang mengubahnya ke dalam wujud kata-kata. Karenanya musykil dipastikan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah puisi. Berapa lama pengakumulasian itu tak diketahui, demikian pula kapan pemantik ditemukan.

bandingkan dengan:

“Kau memang setuju menulis berarti membahasakan yang belum terbahasakan — hasrat, nestapa, amarah, epifani — tapi kau menolak mendongeng sekadar untuk menghapus kebosanan pembaca;”

(aslinya:
Kau memang setuju 
Menulis berarti membahasakan 
Yang belum terbahasakan 
—Hasrat, nestapa, amarah, epifani— 
Tapi kau menolak 
Mendongeng sekadar untuk 
Menghapus kebosanan pembaca;b - "Simulakra", hal. 67)

atau:

“Sebentar lagi. Ini belum sungguh matang. Kecilkan apinya. Setel alarm itu. Kita tidak ingin ia jadi gosong.”

(aslinya:

Sebentar lagi. Ini
Belum sungguh matang. 
Kecilkan apinya. Setel 
Alarm itu. Kita tidak
Ingin ia jadi gosong. - "Menunda", hal. 55) 

buku ini juga punya referensi yang cukup luas. eliot yang sedang dia terjemahkan, walaupun sayangnya dijelas-jelasin alusinya (“Kemerdekaan adalah pasien di puisi / Eliot, terbaring tanpa daya di atas / meja… dst.” – “Kubisme Agustus”, hal. 12) jadi sama aja kayak nirwan dewanto (“(Aku berhutang ungkapan ini kepada seorang penyair dari negeri putih, pegandrung burung hitam…)” – “Burung Merak” dalam Jantung Lebah Ratu, hal. 66) in a poem dedicated to Wallace Stevens 🙄); “Mencari ✓ Rimbaud, / ✓ Eliot, / ✓ Paz, / ✓ Neruda” (“Mediokritas”, hal. 64); anya rompas dalam sebuah review e_____y yang dipuisikan, dengan irama, nada, dan tipografi yang mendekati pastiche (better pastiche than nirwan!), di “Sebuah Buku”, hal. 60; ahmad yulden erwin, extra point buat bikin makian klasiknya di fb “lari-lari kambing” jadi abadi di “Meja Putar”, hal. 122; plus a tribute to umbu and a savage read on sapardi (pernah dia belejeti juga perpuisiannya di fb). kalau kamu merasa referensi yang luas sebagai penanda puisi yang bagus, maka kamu akan merasa buku ini mengandung puisi-puisi yang bagus.

sebelum membaca buku malkan baru ini, saya membaca kembali chelsea islan terbang ke bulan. yang mengusikku pas baca, kebanyakan puisi-puisi di situ puisi cinta, biasalah ya, par for the course dalam puisi indonesia, tapi kenapa sih sebenarnya? how did this happen? apakah karena diam-diam puisi indonesia mainstream masih belum berkembang jauh dari soneta menye-menye roestam effendi dengan segala ungkapan-ungkapan klisenya? “kalung perjalanan hidupku”, “cahaya nubari”, “dipetik jari”, hmmm…

puisi-puisi bukoswki kw69 hamzah muhammad yang sering diceng-cengin malkan junaidi pun sering juga menye klise! contoh: “Hari ini kau dilanda gundah. / Rileks. Karena gundah / senantiasa gulana.” – “Mau Bagaimana Lagi” dalam Hompimpa Alaium Gambreng hal. 26). kalau penyair yang dianggap paling edgy dalam skena sastra nongkrong indonesia pun ternyata lebih regressive dangdut daripada progressive dangdutnya soneta group gimana dong!

malkan bukan gak sadar tentang kecenderungan(nya) ini. dalam satu lagi promo bukunya di facebook (he’s a great marketeer!) dia bilang, “Buku-buku saya sebelumnya (buku kedua dan ketiga) ada yang bilang menye-menye, so-sweet-wanna-be. I think this one tends to offer something different. 🙏

so what’s so different (i imagine bukan cuma dibandingkan buku-buku dia sebelumnya tapi juga dengan puisi indonesia pada umumnya?) and how?

mixed results. dibandingkan buku-buku malkan sebelumnya, mungkin rumah daging dan pikiran punya ambisi yang lebih besar dan terdengar filosofis. klaim malkan buku ini adalah “suara dari manusia yang tak mengingkari jati dirinya sebagai makhluk berakal sekaligus bernapsu.” daging sekaligus pikiran, i see. but isn’t that also a bit of a cliché?

dibandingkan dengan kunci ts pinang yang mencoba mengindekskan lebih jauh (daripada afrizal) dunia dan hubungan-hubungan semiotik di dalamnya, ruang daging dan pikiran lebih asyik mengindekskan dirinya sendiri dengan bahasa yang sepertinya ketularan keklisean ambisinya. bahasa di dua buku malkan sebelumnya (buku pertama dan kedua), lidah bulan dan di bawah cahaya yang terpancar dari ingatan terhadapmu (despite the latter’s title), malah terdengar lebih segar dan direct: “Bono telah selesai bersolek dan menjadi dinamit yang paling manis sekarang dan mengintai mangsa-mangsa paling fanatiknya dari balik kacamata seribu dollar.” (“The Fly: Ode dari Sebuah Tong Sampah” dalam Lidah Bulan hal. 46); “kita mengulang adegan. dua puluh delapan kali. melemparkan kucing, kursi, dan air ke udara. membekukan adegan-adegan itu dengan sebuah remote control.” (“Mengulang Adegan” dalam Di Bawah Cahaya…, hal. 4).

kalau percaya camille paglia, bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang “catch[es] the light at unexpected angles and illuminating human universals” (“Break, Blow, Burn”, hal. xiv), maka either rumah daging dan pikiran ternyata kurang ambisius, merasa cukup dengan illuminating personal struggle penyairnya untuk tidak (lagi?) “mengingkari jati dirinya”, atau kepuisiannya kelelep dalam keklisean sehingga tidak mampu menangkap “light at unexpected angles” tadi (walaupun sepertinya yang dimaksud paglia di sini mirip dengan yang dimaksud malkan dengan epifani).

dibandingkan dengan buku puisi indonesia lain yang memakai struktur rumah, rumah daging dan pikiran malkan lebih mirip dengan, misalnya, aku hendak pindah rumah aan mansyur. semua isinya tertata rapi siap menerima tamu-tamu pembacanya (ketularan klise nih bahasaku xixixi) yang akan digiring dari beranda ke ruang tafakur (malkan), dari taman depan ke taman belakang (aan). sebagian mungkin puas-puas aja dengan something yang a bit different but not that different; sisanya garuk-garuk kepala — apa sih thumbnail keberadaan? — and left wanting something more radical.

osean

goddess white-armpitted see
panas tapi masih mau
mungkin nanti mampir papaya beli eclair
your nose pockmarked beauty

tinggal dikerok masuk angin
child-rearing magnifico hips
aku temukan rumah pohon untukmu
sungai dingin dahan onesie

at half trot kena lampu
maghrib bau lavender
rattled by the lush
pagar hitam menunggu

udah lama nggak ke pand'or
a sonnet to contain a hole

hut

aku datang untuk menonton tebu

orang lain tiba menjadi orang-orangan

ada burung menggenggam udara

dan ulat-ulat kecil di langit

udara setipis kertas

ada kepala-kepala berterbangan

emas meleleh di dalam dada

membeku menjadi punggung

ada bocah menunggu dinosaurus

ular melintas punggung kakinya

jalan lumpur perak purnama

siapa tahu besok malam

ia seorang pengkhayal kawakan

strip kuning di baretnya

apakah pa sudah berpulang

ada gubug di tengah jalan

select

three pears rot in a metal bowl. i’ve stopped washing my rice. i wish estraven had made it across the snow bog. some pages you just don’t understand. a distal phalanx gives you an entire universe. it was my fault/i forgive you. i do not forgive you. how many stars? how many ways of being dead inside? you write about galaxies in which i am an orbitless comet. oh you’re famous! the yellow livery of a blue jimny. tell your mum she’s the prettiest doctor in the district. it concerns miss ives and her hunky wolf/vampyre lord. i don’t know if i should be turned on or call the priest. the feeble church. a family of dawgs. i stood next to his open coffin for about ten minutes. a phalanx of baby brothers. the lord manifests as a banana boat.

against all odds, the waves crash into a grand theatre. they were dismantling the screen but behind it no not the dawn. how was warsaw, could you still hear the ambulance sirens from your bathtub? they say you make it sound like shakespeare. i think they meant shakespeare & co. he pronounced it “shaq-est-fear”. from this vantage point, my legs are two black stumps. louie louia, hey hey! expectation rewards. scraping the barrel of monkey brain sashimi. i hear you childe from under the table. this is a great quote that might make you feel better about being mediocre. automatically fit emotions to containment. the va-va-voom of the system. ya masalahnya he’s always saying all the right things. is idul fitri next week?

that was closer. start with l’éducation sentimentale then graduate to lovecraft. you’ve got the flattest ass in the universe! cute. have i reported back to the style council? how would i know dimension hatröss. one afternoon i rode my bmx with my dick hangin out. iniiii iniiiiiiiii. björk jabs her left fist when no one is looking. she wears a pussy mask. the fastest kid over 100 meters clips my right heel with his left foot. i have to go to the post office, work out shipping for a pair of galoshes to ljubljana. if you want to control people, never let them sleep. unsettle, then revolt. i kept thinking brody would come back coz i read in in cold blood that when you hang the heart might not stop completely until 20 or so minutes after the fact. the manikins made of bamboo.

Aku Speaking Man

Aku nalodo
Aku parquetematización
Aku netprov
Aku Entartete Kunst
Aku bombatalu
Aku Karimun
Aku Heathcliff vs. Darcy: Who’s the Bigger Shit?
Aku comparisonitis
Aku flower in the skull
Aku revelations in the mouth of a drunk
Aku topalu’e
Aku rumah pagar putih ujung gang
Aku smart-shamed
Aku pendelikan
Aku aduh
Aku resep Shiro di Google Keep
Aku gemütlich
Aku electricity generated by shuttlecocks
Aku bawa Alkitab taruh loker
Aku larding
Aku ha’e ha’e
Aku Yakarta se acerca
Aku ¡ya viene Yakarta!
Aku hiatus
Aku visions of mundane madness
Aku tagihan empat kartu kredit
Aku Parasite
Aku Gengsi Dong
Aku Lukisan Berlumur Darah
Aku KTA 100 juta
Aku linu
Aku bioskoop
Aku sour grapes
Aku kritik sastra
Aku lama destiny
Aku narrative anus
Aku Mjölnir di era post-truth
Aku Bogor Raya Residence Blok D6 No. 5
Aku Ivy Winters
Aku Kimchi
Aku smong, smong!
Aku Paviliun Puisi
Aku sudah mati padahal stasiun belum jadi
Aku tapi di atas bisa ngerokok
Aku tulang belulang pada lampu jalan saja
Aku 2 hamburger buns, finely chopped
Aku biaya while I’m gone
Aku bilingual
Aku L2
Aku heritage speaker
Aku non-white
Aku auto-erasure
Aku self-ethnography
Aku self-orientalistic tendencies
Aku mooi indie
Aku London
Aku Jayapura
Aku Jakarta
Aku red herring
Aku colonial pain in the ass
Aku representasi
Aku well-dressed
Aku mengikuti jejak Frances Stonor Saunders
Aku mengikuti jejak Wijaya Herlambang
Aku @1965setiaphari
Aku Kiong Hi!
Aku manifesto Flora
Aku non-spesifik
Aku pesta sebelum kiamat
Aku masuk toko keluar di Tokyo
Aku artist entry
Aku Tetley
Aku tea cakes
Aku Dean’s
Aku Cheaney
Aku barang-barang museum yang lucu aja
Aku psychovalogy
Aku berbau koloni
Aku narkoba yang sering kita nikmati bersama
Aku boncos
Aku alpha shadows
Aku Springbank 10
Aku megacity redux
Aku mongrel
Aku codeswitch redux
Aku ning nang ning gung, ning nang ning gung
Aku onomatopoeia
Aku setan Jawir
Aku kraton
Aku Sri Sultan Hamengkubawono XI
Aku Kanjeng Nyai Jimat
Aku Benteng Vredeburg
Aku Sarkem
Aku Bintang
Aku Lucifer
Aku kentinya gede banget
Aku la disparition
Aku rawan kekuasaan
Aku mabuk kepayang
Aku this carting #lyfe
Aku the field
Aku ladang
Aku lapangan
Aku alun-alun
Aku nowhere
Aku wow
Aku coy
Aku persona non-santa
Aku Indonesian Horror Story: Jan Ethes
Aku #mositidakpercaya
Aku internet yang dilumpuhkan
Aku Netflix
Aku WhatsApp
Aku Telegram yang Line
Aku Proyek Tanah Merah
Aku bersama Ananda Badudu
Aku bersama Isyana Sarasvati
Aku bersama anak STM
Aku bersama mahasiswa
Aku bersama Papua
Aku bersama kitabisa
Aku bersama change.org
Aku bersama meme
Aku bersama Wiji Thukul
Aku bersama revolusi
Aku bersama Maybelline
Aku bersama SPF 50+
Aku ular menyelamatkan ikan yang tenggelam
Aku kerja, kerja, kerja
Aku work, work, work, work, work
Aku work it bitch!
Aku sastrawan membacot
Aku membayangkan Abdullah Harahap sebagai tonggak kesusastraan Indonesia
Aku 300 dulu aja ke BCA
Aku a mental image of a primitive Indonesia that is full of slums and dirty rivers and
piles of garbage
Aku bukan cuma menjelaskan bagaimana Orba melegitimasi anti-komunisme
melalui sastra dan film tapi juga bagaimana dengan melegitimasi sentimen anti-komunisme itu Orba juga sekalian melegitimasi kuasa korporasi asing (think Amerikkka, think Freeport) di negara ini.
Aku gunung-gunung di belahan bumi pertiwi, mooi indie, kolonialisme
Aku how many stars
Aku how many worlds
Aku how many ways of being alive?
Aku Victoria Sin
Aku sometimes feel sorry for straight people
Aku Farhanah
Aku leistungsgesellschaft
Aku burnout society
Aku the millennial ideal, unites the basic race
Aku wah wah wah pantatnya beneran ke mana-mana yah?
Aku perfect metaphors untuk politik adu kuasa memori versus kenyataan dalam jiwa
orang-orang Indo gara-gara their forced migration of the mind
Aku words no need words rearrange disarrange rearranged
Aku written in English, but refers to a world in which English is never spoken
Aku may contain a phrase in Javanese
Aku deliberately intended for an audience who will never understand what aku
means – a kind of private prayer spelled out punk in drublic
Aku in the water, I can’t feel my wounds
Aku harmonious insults of the sun
Aku rainbow-colored machineries
Aku sweat dropping on your lips
Aku loh
Aku deh
Aku ih
Aku idih
Aku apasiii
Aku jangan gitu dong
Aku ya udah
Aku agitate
Aku educate
Aku males organise
Aku folded the dress, my love, under my pillow
Aku broken in, but not faded if you know what i mean
Aku ide buat sebuah film (non-Dogme)
Aku nothing and above you // only tall plants
Aku IDM
Aku Clark
Aku a set of tubes
Aku bones
Aku blood and teeth
Aku a self
Aku family
Aku kursi-kursi yang semplak seperti ini
Aku tengah malam pagi buta capek dan penuh beban
Aku super sturdy wooden benches dari zaman gaban
Aku tangan yang tak henti diremas-remas
Aku kegelapan
Aku langit-langit tanpa bintang
Aku mau jadi tatoku
Aku hongi
Aku haka
Aku manuhiri
Aku tangata whenua
Aku Tāne
Aku Hineahuone
Aku Sundel Bolong
Aku Ratu Pantai Laut Selatan
Aku Nyi Blorong
Aku Ratu Ilmu Hitam
Aku Suzzanna
Aku seorang gadis kecil menemukan bandara yang sudah lama tak terpakai
Aku oke, kayaknya besok pagi-pagi deh aku ke tempatmu yah. Malamnya
Aku sudah terlanjur ada janji sama teman. Kalau janji sama teman
Aku batal, malamnya
Aku bisa langsung ke tempatmu. No WA
Aku: 0818187377
Aku #reformasidikorupsi
Aku #diperkosanegara
Aku #bubarkanDPR
Aku Permak Lepis
Aku Vermak Lives
Aku Lebih Garing Nugroho
Aku MASALAH BAHASA YANG TIDAK DAPAT AKU ATASI SENDIRI
Aku LAGI SIBUK MEMBANGUN EYD DARI GORENG ARAB DAN ANTON
MOELIONO
Aku bloed aftappen
Aku hingga sekarang belum ada kepastian tentang arti kata palapa
Aku rempah-rempah
Aku penundaan
Aku waktu tenggang
Aku hasil atau
Aku keuntungan
Aku NKKBKS
Aku NKKBKK
Aku NKRI hari Senin harga naik
Aku otobiografi
Aku Saut
Aku Thendra
Aku Anya
Aku Cyntha
Aku Avi
Aku Rustum
Aku Yasir
Aku Arie
Aku Toeti
Aku MEKI! MEKI! MEKI!

*ada 230 aku dalam puisi ini. ada 230 aku dalam 85 puisi Chairil Anwar termasuk terjemahan dan saduran. mengandung banyak hal dicuri dari aku-aku lain. dibacakan pertama kali di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, sebagai bagian dari acara Joglitfest, 29 September 2019.